Pandangan Ulama : Hukum
Non Muslim Menjadi Penguasa Bagi Kaum Muslim
Disapaikan
Oleh: Nurcahyono
Pada zaman
sekarang, umat Islam banyak mendapatkan ujian. Diuji dengan orang-orang yang
tampangnya bertampang ulama’, ustadz dan mufti, tetapi celakanya mereka
mengeluarkan fatwa yang menyalahi al-Qur’an, as-Sunnah dan apa yang disepakati
oleh para ulama’ Muktabar. Mereka memaksakan diri untuk beragumentasi dengan
argumen yang janggal, aneh dan jauh dari Islam. Bahkan, tidak segan membajak
nash-nash syariat untuk mendukung pandangan mereka.
Di
antaranya, fatwa tentang kebolehan memberikan mereka kewenangan yang besar
kepada orang Kafir, agar mereka menjadi penguasa kaum Muslim di negeri Islam.
Mengurus dan mengelola urusan mereka. Dia juga berhak untuk ditaati.[1]
Alasan mereka, antara lain, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, telah
diangkat menjadi penguasa dalam sistem pemerintahan Kafir.
Yang benar
adalah, bahwa pendapat tersebut jauh dari kebenaran. Bahkan, jelas-jelas
menyalahi kebenaran itu sendiri. Alasannya, antara lain:
Pertama, bahwa tugas utama penguasa kaum
Muslim adalah menegakkan syariat Allah, menjunjung tinggi kalimah-Nya, mengurus
dunia dengan agama, menjaga ketentuan hukum Allah, agama-Nya serta hak-hak
hamba-Nya. Dalam hal ini, Khilafah merupakan wakil Nabi dalam menjaga agama,
mengurus dunia dengan agama, dan bukan sekedar biasa. Imam al-Mawardi berkata, “Imamah
itu dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama, mengurus politik,
serta memberikan akad kepadanya bagi siapa saja sanggup memikulnya di
tengah-tengah umat, hukumnya wajib.”[2]
Ibn Tamiyyah
mengatakan, “Yang menjadi maksud yang wajib dalam kekuasaan itu adalah
memperbaiki agama makhluk. Sebab, ketika agama itu hilang dari mereka, maka
mereka pasti rugi serugi-ruginya. Dunia yang menjadi nikmat mereka pun tak ada
gunanya. Untuk memperbaiki urusan duia mereka yang hanya bisa ditegakkan
dengannya.”[3]
Logikanya,
bagaimana mungkin orang Kafir yang tidak mengimani Islam bisa mengerjakan tugas
ini? Bagaimana mungkin kita bisa meletakkan amanah untuk menjaga agama di depan
orang yang jelas-jelas mengingkarinya?
Kedua, nash-nash syara’ telah
menjelaskan, bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang Kafir
yang memang asli Kafir, meski boleh jadi dia murtad setelah diangkat, namun
begitu murtad, dia harus diberhentikan, dan kepemimpinannya pun gugur. Allah
SWT. berfirman:
﴿ وَلَنْ
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا ﴾ [النساء:
141]
“Sekali-kali
Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai orang
Mukmin.” [Q.s. an-Nisa’: 141]
Al-Qadhi Ibn
al-‘Arabi menyatakan: “Allah SWT secara syar’i tidak memberikan jalan kepada
orang Kafir untuk menguasai orang Mukmin. Jika pun ada, maka itu jelas
menyalahi syara’.” [4]
Allah SWT
berfirman:
﴿ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ﴾ [النساء: 59]
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta pemimpin di
antara kalian.” [Q.s.
an-Nisa’: 59]
Dengan
frasa, “Minkum” [di antara kalian], menunjukkan bahwa pemimpin tersebut
wajib dari kalangan umat Islam yang beriman. Karena seruannya dari permulaan
ayat tersebut diarahkan kepada mereka.
Allah SWT
juga berfirman:
﴿ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا
يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ
أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ
الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ ﴾ [آل عمران: 118]
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah
nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka
adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya.” [Q.s. Ali ‘Imran: 118]
Imam
al-Qurthubi mengatakan, “Melalui ayat ini, Allah telah melarang orang Mukmin
untuk menjadikan kaum Kafir, Yahudi dan pemuja hawa nafsu untuk dijadikan
sebagai teman kepercayaan yang keluar masuk [tempat kita] untuk bertukar
pandangan, dan mereka menyerhkan urusan mereka kepadanya.” [5]
Jadi,
bagaimana mungkin menjadikan mereka sebagai penguasa dan pemimpin untuk
mengurusi berbagai urusan kita?
Allah SWT
juga berfirman:
﴿ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ ﴾ [النساء: 144]
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai
pelindung [pemimpin] selain orang Mukmin.” [Q.s. an-Nisa’: 144]
Ibn Katsir berkata, “Allah SWT.
melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang Kafir sebagai
pelindung [pemimpin], selain orang Mukmin. Artinya, Allah melarang mereka untuk
dijadikan sahabat, teman, penasehat, dicintai serta tempat menyampaikan rahasia
orang Mukmin.” [6]
Imam
al-Qurthubi menambahkan, “Artinya, janganlah menjadikan mereka sebagai orang
istimewa kalian dan kepercayaan kalian.” [7]
Jika
menjadikan mereka sebagai teman, membeberkan rahasia orang Mukmin kepada
mereka, dan menjadikan mereka sebagai kepercayaan merupakan bentuk ber-muwalah
yang dilarang ayat tersebut, maka tidak diragukan lagi, bahwa mengangkat mereka
sebagai pemimpin urusan kaum Muslim, dan penguasa mereka jelas-jelas merupakan
bentuk muwalah yang lebih nyata dan sangat diharamkan.
Dari ‘Ubadah
bin Shamit radhiya-Llahu ‘anhu, berkata, “Kami diundang Rasulullah
saw. Kami membai’at baginda, maka di antara yang baginda minta dari kami,
hendaknya kami membai’at [baginda] untuk mendengar dan taat, baik ketika kami
lapang maupun sempit, susah maupun senang.. dan hendaknya kami tidak merebut
urusan tersebut dari yang berhak.” Baginda saw. bersabda, “Kecuali, jika kalian
menyaksikan kekufuran yang nyata, dimana kalian mempunyai bukti di hadapan
Allah SWT.” [8]
Al-Qadhi
‘Iyadh berkata, “Kalau tampak kekufuran, mengubah syariat atau melakukan
bid’ah, maka dia telah keluar dari hukum sahnya kepemimpinan. Ketaatan
kepadanya pun gugur. Wajib bagi kaum Muslim untuk menentangnya, dan
memberhentikannya. Lalu, mengangkat imam yang adil, jika memungkinkan bagi
mereka untuk melakukannya. Jika itu hanya bisa dilakukan sekelompok orang, maka
mereka wajib memberhentikan orang Kafir tersebut.”[9]
Kedua, Ijmak kaum Muslim menyepakati,
bahwa syarat Muslim bagi orang yang memegang tampuk pemerintahan, yang
memerintah dan mengurus kaum Muslim. Orang Kafir tidak mempunyai hak memerintah
dan mengurus urusan kaum Muslim, apapun alasan dan kondisinya.
Al-Qadhi
‘Iyadh berkata, “Ulama’ kaum Muslim sepakat, bahwa kepemimpinan tidak akan
diberikan kepada orang Kafir. Jika kemudian tampak kekufuran padanya, maka
dengan sendirinya diberhentikan. Begitu juga kalau meninggalkan kewajiban
mendirikan shalat dan mengajak untuk mendirikan shalat.”[10]
Ibn
al-Mundzir berkata, “Bahwa telah disepakati oleh Ahli Ilmu yang dihapal
riwayatnya dari mereka, bahwa orang Kafir tidak berhak mempunyai kekuasaan
terhadap seorang Muslim, apapun alasannya.” [11]
Ibn Hazm
berkata, “Mereka sepakat, bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan
kepada seorang wanita, orang Kafir dan anak kecil.” [12]
Ibn Hajar
al-Asqalani berkata, “Sesungguhnya seorang imam [kepala negara] akan terhenti
dengan sendirinya, berdasarkan Ijmak, begitu dia kufur. Maka, kaum Muslim wajib
untuk melakukannya [menghentikannya]. Siapa yang sanggup untuk melakukannya,
maka dia akan mendapatkan pahala. Dia yang tidak serius melakukannya, maka dia
berhak mendapatkan dosa. Siapa saja yang tidak mampu, maka dia wajib hijrah
dari negeri tersebut.” [13]
Keempat, Jumhur ulama’ menguatkan, bahwa
kefasikan seorang penguasa secara nyata, dan diketahui, bisa menyebabkan
gugurnya haknya untuk memimpin dan mengurus [urusan kaum Muslim], menjadi
alasan yang membenarkan untuk meninggalkannya, ketika aman dari pertumpahan
darah dan terjadinya fitnah. Itu karena kefasikannya boleh jadi akan membuatnya
berdiam diri dari kewajiban syar’inya, baik menegakkan hudud, mengurus
hak-hak [rakyat], menjaga agama dan kehidupan rakyatnya.
Imam
al-Qurthubi berkata, “Seorang imam, jika dia diangkat, kemudian menjadi
fasik setelah berlangsungnya akad, maka Jumhur ulama’ berpendapat, bahwa
kepemimpinannya batal, dan dia harus diberhentikan karena kefasikan yang nyata
dan diketahui. Sebab, telah ditetapkan [dengan nash syariah], bahwa seorang
imam diangkat hanya untuk menegakkan hudud, menunaikan hak, menjaga harta
anak-anak yatim dan mujanin, memperhatikan urusan mereka dan sebagainya..
Kefasikannya juga akan membuatnya berdiam diri dari menunaikan urusan ini, dan
bangkit untuk mengerjakannnya.
Kalau kami
membenarkan orang fasik menjadi imam, tentu itu akan menyebabkan dibatalkannya
apa yang seharusnya dia ditegakkan, dimana dia ada untuk itu. Tidakkah Anda
melihat, jika sejak awal tidak boleh kekuasaan diberikan kepada orang fasik,
itu tak lain agar dia tidak membatalkan apa yang justru seharusnya dia
tegakkan. Begitu juga orang yang seperti dia.” [14]
Jika
pandangan mereka tentang seorang penguasa yang berhak memimpin dan mengurus
[urusan umat Islam], serta dibaiat, kemudian tampak kefasikan pada dirinya saja
seperti ini, lalu bagaimana dengan orang yang aslinya memang Kafir, yang tidak
berhak dibaiat, dan tidak berhak mempimpin dan mengurus urusan kaum Muslim?
Bagaimana mungkin, bisa dibenarkan syara’ maupun nalar, bahkan kekuasaan dan
pemerintahan kaum Muslim itu diberikan kepada orang yang memang aslinya sudah
Kafir?
Kelima, mengenai apa yang dijadikan argumentasi para ulama’
itu, yaitu kasus Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, maka sesungguhnya
argumentasi mereka tidak ada nilainya sama sekali. Argumentasi ini selain
batil, tentu saja harus ditolak, dengan beberapa alasan:
- Sesungguhnya syariat Nabi atau
umat sebelum kita [Syar’u man qablana] telah dinyatakan dalam Ushul
Fiqih bukan merupakan syariat bagi kita, juga tidak bisa digunakan sebagai
hujah. Terlebih, jika bertentangan dengan syariat Islam.[15]
- Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihi
as-salam juga tidak ada bukti yang bisa digunakan untuk menyatakan,
bahwa Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam mengakui kepemimpinan orang
Kafir. Tindakan Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam hanya untuk menegakkan
keadilan, menjaga hak, mencegah kezaliman, disia-siakannya harta bukan
kepada yang berhak, karena itu beliau memberi alasan, “Hafidz[un]
‘alim[un].” [yang menjaga dan mengetahui].
Al-Qadhi Ibn
al-‘Arabi memberikan catatan, “Bagaimana mungkin, bisa diterima [dengan
nalar] beliau menerima pengangkatan orang Kafir sebagai penguasa, sementara
beliau orang Mukmin dan Nabi?” Ibn ‘Arabi menjawab, “Kami
tegaskan, beliau tidak pernah meminta jabatan. Tetapi, minta ditinggalkan dan
dibiarkan.. Jika Allah mau, Allah bisa menjadikannya berkuasa.. Tetapi, Allah
menjalankan sunah-Nya sebagaimana yang berlaku untuk para Nabi dan umatnya..
itulah yang ditunjukkan oleh firman-Nya:
﴿ وَكَذَلِكَ
مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ
بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴾ [يوسف:
56]
“Dan
demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa
penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami
melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [Q.s. Yusuf: 56]
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan dalil-dalil syara’ di atas, baik al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijmak
Sahabat, serta pandangan para ulama’ tentang kepemimpinan orang Kafir dan
Fasik, bisa disimpulkan, bahwa:
- Jelas Islam merupakan syarat
mutlak dan merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
- Jika ada penguasa yang asalnya
Muslim, kemudian setelah berkuasa menjadi murtad, maka dengan sendirinya
kekuasaan lepas. Dia diberhentikan secara outomatis, begitu syarat
Islam-nya hilang. Jika tidak mau berhenti, maka para ulama’ sepakat, orang
seperti harus diberhentikan dengan paksa.
- Sebaliknya, orang yang
berpendapat bahwa orang Kafir boleh berkuasa, pendapat seperti ini tidak
pernah dinyatakan oleh ulama’ di masa lalu. Argumentasi yang mereka
gunakan pun lemah, dan tidak mempunyai nilai sedikit dalam pengambilan
hukum syara’.
- Jika saat ini yang berpendapat
tentang kebolehan non-Muslim menjadi penguasa kaum Muslim, maka orang
seperti ini ada dua kemungkinan: Pertama, jahil tentang hukum
Islam. Kedua, menjual diri dan agamanya untuk kepentingan dunia.
Wallahu
a’lam.


0 Response to "Pandangan Ulama : Hukum Non Muslim Menjadi Penguasa Bagi Kaum Muslim"
Posting Komentar