Breaking News

Loading...

Biro Iklan Lokal Tangerang Selatan

Jejak Imani Umroh Landing Madinah : Hemat perjalanan darat 7-8 Jam dari Jeddah - Madinah

Jejak Imani Umroh Landing Madinah : Hemat perjalanan darat 7-8 Jam dari Jeddah - Madinah
Memberangkatkan Umroh, Haji Plus, Bersama Jejak Imani Telp. 0813 8468 1151

Pasang IKlan Disini

Pasang IKlan Disini
Biro Iklan Tangerang Selatan Telp. 0813 8468 1151

Islam Rahmatan Lil Alamin Hanya Terwujud Dengan Khilafah

Islam Rahmatan Lil Alamin
Hanya Terwujud Dengan Khilafah

Pendahuluan
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta” (QS al-Anbiya’ [21]: 107)
Ayat ini termasuk salah satu ayat yang sering disitir kaum liberal.  Hanya saja, maknanya kerap disimpangkan dari pengertian aslinya. Dengan dalih rahmatan lil alamin, umat Islam dianjurkan membangun ’ukhuwah’ dengan non muslim sebagaimana ukhuwah islamiyyah, sekalipun mereka terang-terangan memusuhi Islam dan umatnya.
Agar tampil dengan wajah ramah dan menjadi rahmatan lil alamin, mereka mendekonstruksi makna jihad. Sebagai gantinya, jihad hanya diartikan secara literal, bersungguh-sungguh. Sementara jihad dalam pengertian sesungguhnya mereka kecam sebagai bentuk kekerasan, terorisme, dan mencederai sifat rahmatan lil alamin. Bahkan ketika kaum Muslim dibantai, negerinya dijajah, kekayaan alamnya dijarah, kehormatannya diinjak-injak, dan kesucian Islam dilecehkan, mereka tetap tak bergeming. Mereka mengajak kaum kafir itu berdialog, bukan untuk mencari kebenaran, namun mengupayakan titik temu Islam dengan ide-ide kufur. Seolah untuk mewujudkan rahmatan lil alamin umat Islam harus menanggalkan keyakinan terhadap ideologinya dan merunduk di hadapan musuh-musuhnya. 
Dengan alasan itu pula, mereka menyerukan kepada umat Islam untuk menghentikan perjuangan menegakkan syariah dan khilafah. Sebab, menurut mereka, penerapan syariah oleh negara akan menjadikan nonmuslim sebagai warga kelas dua, yang berarti  berlawanan dengan semangat rahmatan lil alamin. Syariah pun [s1] direduksi sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan aturan ubudiyyah dan moral.
Lebih jauh, makna rahmatan lil alamin kemudian disejajarkan dengan [s2] pluralisme dan liberalisme yang mengizinkan berkembangnya berbagai paham sesat, membiarkan gerakan pemurtadan, dan mentoleransi berbagai kemaksiatan. Keyakinan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar diridhai Allah Swt dianggap sebagai paham sempit, merusak kerukunan beragama, menjadi cikal bakal kekerasan, dan pada akhirnya tidak memberikan rahmat kepada nonmuslim.
Semua pemahaman itu jelas melenceng jauh dari makna sesungguhnya yang dikandung ayat ini. Tidak ada satu pun indikasi dalam ayat-ayat ini yang membolehkan kaum muslim mereduksi, mengubah, atau menolak syariah. Demikian pula menjadikan nonmuslim sebagai saudara seperti halnya sesama muslim, menghapus kewajiban jihad dari khazanah Islam, atau memupus perjuangan penegakan syariah dan khilafah. Sebaliknya, ayat-ayat ini justru mengukuhkan keharusan manusia menerima Islam secara total dan diterapkan dalam kehidupan nyata.[1]
Kaum Liberal Pelaku Utamanya
Barat melalui para anteknya, kaum liberal, memang tak pernah berhenti memusuhi Islam. Karena itu mereka terus mencari cara agar bisa melemahkan keimanan kaum muslimin. Salah satunya adalah dengan mengusung slogan Islam Rahmatan lil Alamiin. Ini terlihat jelas dari penyataan Menag pada saat menawarkan gagasan Islam Nusantara dalam sebuah sebuah seminar dengan tema "Pluralims, Fundamentalism, and Media" pada Frankfurt Book Fair di Frankfurt, Jerman, Sabtu (10/10/2015) lalu. Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan perlunya mengembangkan "Islam Nusantara" sebagai model keberagaman yang tengah dikembangkan di Indonesia, terkait wacana perdebatan dan pencarian pemahaman, serta menyikapi fenomena perkembangan gerakan radikalisme keagamaan dan kemunculan “Islamophobia”. Dalam seminar itu Menag juga menawarkan kepada dunia bahwa sesungguhnya Islam Nusantara bisa dijadikan sebagai model  ber-Islam  “rahmatan lil ‘alamin”.[2]
Sebelumnya, ditahun 2011, Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) M Hanif Dhakiri menyatakan bahwa Islam menjadi tampak keras ketika ia ditafsirkan dengan pendekatan kepentingan politik dan kekuasaan. Pada dasarnya Islam adalah dien wal ummah, religion and nation (agama dan bangsa). Bukan dien wal daulah, religion and state (agama dan negara). Dengan begitu, politik Islam semestinya tidak berkepentingan dengan negara Islam, melainkan kebaikan masyarakat secara keseluruhan (rahmatan lil 'alamin). "Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil 'alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam. Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil 'alamin saya kira bukan Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk," jelas Hanif. [3]
Tentu orang-orang liberal ini mendasarkan pendapatnya pada penafsiran dari ulama terdahulu yang mereka dekatkan dengan konsep pemikiran Barat. Ini terlihat dari hujjah mereka sebagaimana disampaikan oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin dalam peringatan Nuzulul Qur’an tingkat Kenegaraan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/07/2014). “Al-Qur’an membawa misi rahmatan lil ‘alamin, kesejahteraan bagi alam semesta,” Menurutnya, syari’ah yang bersumber dari Qur’an telah memberikan andil besar pada perkembangan peradaban, dengan sumbangan konsepsi pemikiran visioner yang dikenal dengan lima prinsip dasar kemanusiaan universal atau yang disebut al-kulliyatul khams. Mengutip Abu Ishaq Asy-Syatibi (ulama terkemuka abad ke-14), dikatakan bahwa tujuan ditetapkannya syariat atau maqashidus-syari’ah meliputi: perlindungan terhadap kebebasan berkeyakinan/beragama (hifzh al-din), perlindungan terhadap keselamatan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap kebebasan berpikir (hifzh al-‘aql), perlindungan terhadap keturunan/keluarga (hifzh nasl), dan perlindungan terhadap hak milik harta benda (hifzh al-mall).“Jadi, syariat Islam yang bersumberkan Al-Quran merupakan sumber hukum yang memiliki tujuan yang sejalan dengan prinsip-prinsip HAM universal,” tegas Menag.[4]
Jadi jelaslah pendapat imam Asy Syatibi tentang maqashid syariah inilah yang mereka jadikan landasan untuk membenarkan pendapat dan pandangan mereka.
Konsep Maqashid Asy Syar’iah Asy Syatibi
            Konsep maqâshid asy-syarî‘ah berasal dari seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Asy-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-maqâshid. Menurut Asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba[5]
Selanjutnya Asy-Syatibi membagi maqâshid menjadi tiga bagian, yaitu: dharûriyât, hâjiyat, dan tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsînât artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharûriyât beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mâl) (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqâshid asy-syarî‘ah.[6]
Dalam perkembangan kontemporer, konsep maqâshid asy-syarî‘ah ternyata banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, bukan untuk menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh, tujuan menjaga agama (hifzh ad-dîn) ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam Liberal) sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama (the protection of the freedom of religion)”; tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql) diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir (the protection of the freedom of thought)”.[7] Jadi, konsep maqâshid asy-syarî‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.
Memposisikan Maqashid Asy Syar’iah
Pandangan Taqiyuddin An-Nabhani tentang maqâshid asy-syar‘îah dalam kitab ushul fikihnya, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, pada bab, “Maqâshid asy-Syar‘îah” secara umum berbeda dengan Asy-Syatibi. Sebab menurut An-Nabhani, maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Dalam kitab ushul fikihnya ini, An-Nabhani menolak dan mengkritik pandangan Asy-Syatibi secara mendasar. Kendati pun kemudian terkesan lebih ketat, konsep An-Nabhani tersebut menunjukkan keunggulannya. Sebab, di samping kekuatan hujahnya, konsepnya juga dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqâshid asy-syar‘îah secara gegabah untuk membenarkan ide-ide Barat yang kufur.[8]
Kritik An-Nabhani terhadap pendapat imam Asy Syatibi ini mencakup 4 (empat) prinsip penting : (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqâshid asy-syar‘îah adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah penerapan syariat tidak selalu terwujud; (4) hikmah penerapan syariat hanya bisa diketahui melalui dalil syariat.
Prinsip pertama konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan ‘illat penetapan syariat. Jadi, pada dasarnya An-Nabhani mengakui adanya hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari nash-nash al-Quran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi saw. adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra (17) ayat 82 dan QS al-Anbiya’ (21) ayat 107. Namun demikian, An-Nabhani dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-bâ‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (nâtijah), tujuan (ghâyah), atau akibat (‘âqibah) dari penerapan syariat.
Mengapa demikian? Karena menurut An-Nabhani, nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt. berikut:
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lîl (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lîl. Jadi, maksud ayat ini, bahwa hasil (an-nâtijah) diutusnya Muhammad saw. adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat. Pandangan An-Nabhani ini berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam
Prinsip kedua konsep An-Nabhani dalam maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (yaitu mewujudkan kemaslahatan) merupakan tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum.
Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ (21) ayat 107 di atas, yang menurutnya dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari keseluruhan risalah. Tidak ada dalâlah (petunjuk) apa pun dari ayat tersebut atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’ [17]: 82) bahwa maslahat merupakan tujuan masing-masing hokum.
Karena itu, An-Nabhani mengatakan, akan kita dapati ketika Asy-Syâri‘ (Allah) menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah dari syariah sebagai keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum pada banyak hukum, yang bersifat khusus, yang hanya bisa diketahui melalui dalil topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22]: 28); tujuan pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS al-Maidah [5] : 91); tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut [29]: 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah bahwa dihasilkannya rahmat (maslahat) hanya dihasilkan dari syariat secara keseluruhan, bukan syariat sebagai satu demi satu hukum. Dengan kata lain, tidak tepat dikatakan bahwa tujuan setiap nash syariat adalah mencapai kemaslahatan, karena kadang nash-nash syariat menjelaskan tujuan (hikmah)-nya secara khusus, seperti telah dicontohkan. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu-persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, maka ini hanya ditunjukkan oleh dalil aqli, bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil aqli.
Prinsip ketiga An-Nabhani dalam konsep maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Jadi, ketika Allah menerangkan bahwa tujuan pensyariatan suatu hukum adalah begini, maksudnya Allah memberitahukan bahwa hikmahnya begini. Tidak berarti Allah mengatakan tujuannya pasti terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat adalah hikmah ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 28). Namun kenyataannya, jutaan orang berhaji tidak menyaksikan manfaat bagi mereka. Mengenai khamr dan judi, Allah menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara manusia (QS Al-Maidah [5]: 91). Namun faktanya, banyak penenggak khamr dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.
Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan sebagai ‘illat. Kalau dijadikan ‘illat, maka kewajiban haji akan bergantung pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji hukumnya wajib, dan jika tak ada manfaatnya, haji menjadi tidak wajib. Keharaman khamr dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamr dan judi haram, jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamr dan judi menjadi mubah. Tentu ini tidak benar.
Atas dasar itu, prinsip ketiga ini semakin menegaskan, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan syariat) sesungguhnya bukanlah ‘illat atau motif pensyariatan hukum, melainkan hikmah atau hasil (natijah) dari penerapan hukum.
Prinsip keempat konsep maqâshid asy-syarî‘ah An-Nabhani adalah bahwa hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya. Tidaklah mungkin bagi kita, baik secara akli maupun syar‘î, dapat mengetahui hikmah (tujuan) suatu hukum, kecuali jika kita mengetahuinya melalui nash, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Jadi, tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk membentuk ketakwaan, sebab ini ditunjukkan oleh nash (QS al-Baqarah [2]: 183). Namun tidak tepat jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita bisa turut menghayati kehidupan kaum miskin yang sering kelaparan, karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada nash yang menunjukkannya.
Khilafah Penjaga Sejati Maqashid Syar’i
Apa implikasi dari prinsip-prinsip maqâshid asy-syarî‘ah menurut Taqiyuddin An-Nabhani di atas? Di antaranya adalah tidak menjadikan maslahat sebagai dalil hukum syariat. Jadi, tidaklah benar apa yang dikatakan sebagai kaidah fikih: Aynama takûnu al-maslahah fa tsamma syar‘ullâh (Dimana ada maslahat, disana ada hukum Allah) (Al-Khayyath, 1982). Kaidah itu, di samping sangat lemah dalilnya, juga berbahaya ketika diterapkan pada masyarakat kapitalistik saat ini yang didominasi paham utilitarianisme atau pragmatisme, yang menjadikan manfaat sebagai standar untuk mengukur salah benarnya perbuatan Bisa saja kemudian bunga bank yang sebenarnya termasuk riba yang haram, lalu dianggap mubah hanya karena maslahat
Implikasi penting lainnya, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah haruslah secara disiplin diketahui berdasarkan nash, bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘menjaga agama’ maksudnya adalah ‘menjaga kebebasan beragama’, atau ‘menjaga akal’ artinya ‘menjaga kebebasan berpikir’, jelas ini kesimpulan akal-akalan; tidak ada nilainya dalam pandangan syariat. Di samping itu, pemaknaan tersebut sebenarnya adalah penafsiran sesuka hati tanpa landasan dan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Itu hanya fantasi intelektual murahan, yang dilakukan oleh orang yang tidak malu untuk melakukan kedustaan dan manipulasi kebenaran
Dari sini jelaslah bahwa maqashid syariyah yang digagas Asy Syatibi hanyalah instrument untuk menyusupkan ide kebebasan ala Barat. Dan slogan Islam rahmatan lil alamiin yang diusung oleh antek-antek Barat harus sepenuhnya diwaspadai. Islam rahmatan  lil ‘alamin bukanlah Islam yang mereduksi syariah Islam hanya aspek individual. Bukan pula Islam yang memilih tunduk kepada Barat dengan mereduksi jihad dalam pengertian qital (perang) menjadi hanya perang melawan hawa nafsu. Sebab jihad dalam pengertian qital (perang) adalah kewajiban syariah.  Bukan pula Islam yang diam saja ketika Barat menjajah kaum muslim dengan Ideologi Kapitalismenya. Sebab, syariah Islam mewajibkan umat Islam untuk menerapkan hanya syariah Islam dan bukan ideologi musuh-musuh Islam. Singkatnya, Islam rahmatan  lil alamin akan terwujud dengan penerapan syariah Islam oleh Daulah Khilafah Islam 
Adalah keliru memahami Islam rahmatan  lil alamin bisa terwujud tanpa Khilafah. Sama kelirunya, menganggap penerapan syariah Islam oleh negara secara formal sebagai ancaman. Justru tanpa negara bagaimana mungkin syariah Islam secara menyeluruh (bukan hanya aspek ritual, moral, dan individual) bisa terwujud? Wallahu a’lam


[1]  Labib, S. Rokhmat, Al Waie, Jurnal Politik dan Dakwah edisi Maret 2016.
[2] http://www.suara-islam.com/read/index/15826/-Bersama-Tokoh-Liberal--Menag-Tawarkan-Islam-Nusantara-sebagai-Islam-Rahmatan-lil-Alamin-di-Frankfurt
[3] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/08/19/lq5w9t-ciriciri-islam-indonesia-islam-yang-rahmatan-lil-alamin
[4] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=202825
[5] Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/2-3
[6] Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4-5; Az-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, II/1046-1051.
[7] Al Jawi, Shiddiq; Menimbang kembali
[8] An-Nabhani, Taqiyuddin:  Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III


 [s1]
 [s2]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Islam Rahmatan Lil Alamin Hanya Terwujud Dengan Khilafah"

Posting Komentar