Islam Rahmatan Lil Alamin
Hanya Terwujud Dengan Khilafah
Pendahuluan
“Dan tiadalah
Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta” (QS
al-Anbiya’ [21]: 107)
Ayat ini termasuk salah satu
ayat yang sering disitir kaum liberal.
Hanya saja, maknanya kerap disimpangkan dari pengertian aslinya. Dengan
dalih rahmatan lil alamin,
umat Islam dianjurkan membangun ’ukhuwah’ dengan non muslim sebagaimana ukhuwah
islamiyyah, sekalipun mereka terang-terangan memusuhi Islam dan umatnya.
Agar tampil dengan wajah ramah
dan menjadi rahmatan lil alamin,
mereka mendekonstruksi makna jihad. Sebagai gantinya, jihad hanya diartikan
secara literal, bersungguh-sungguh. Sementara jihad dalam pengertian
sesungguhnya mereka kecam sebagai bentuk kekerasan, terorisme, dan mencederai
sifat rahmatan lil alamin.
Bahkan ketika kaum Muslim dibantai, negerinya dijajah, kekayaan alamnya
dijarah, kehormatannya diinjak-injak, dan kesucian Islam dilecehkan, mereka
tetap tak bergeming. Mereka mengajak kaum kafir itu berdialog, bukan untuk
mencari kebenaran, namun mengupayakan titik temu Islam dengan ide-ide kufur.
Seolah untuk mewujudkan rahmatan
lil alamin umat Islam harus menanggalkan keyakinan terhadap ideologinya dan
merunduk di hadapan musuh-musuhnya.
Dengan alasan itu pula, mereka
menyerukan kepada umat Islam untuk menghentikan perjuangan menegakkan syariah
dan khilafah. Sebab, menurut mereka, penerapan syariah oleh negara akan
menjadikan nonmuslim sebagai warga kelas dua, yang berarti berlawanan dengan semangat rahmatan lil alamin. Syariah pun [s1] direduksi
sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan aturan ubudiyyah dan moral.
Lebih jauh, makna rahmatan lil alamin kemudian
disejajarkan dengan [s2] pluralisme dan
liberalisme yang mengizinkan berkembangnya berbagai paham sesat, membiarkan
gerakan pemurtadan, dan mentoleransi berbagai kemaksiatan. Keyakinan bahwa
Islam merupakan satu-satunya agama yang benar diridhai Allah Swt dianggap
sebagai paham sempit, merusak kerukunan beragama, menjadi cikal bakal
kekerasan, dan pada akhirnya tidak memberikan rahmat kepada nonmuslim.
Semua pemahaman itu jelas
melenceng jauh dari makna sesungguhnya yang dikandung ayat ini. Tidak ada satu
pun indikasi dalam ayat-ayat ini yang membolehkan kaum muslim mereduksi,
mengubah, atau menolak syariah. Demikian pula menjadikan nonmuslim sebagai
saudara seperti halnya sesama muslim, menghapus kewajiban jihad dari khazanah
Islam, atau memupus perjuangan penegakan syariah dan khilafah. Sebaliknya,
ayat-ayat ini justru mengukuhkan keharusan manusia menerima Islam secara total
dan diterapkan dalam kehidupan nyata.[1]
Kaum
Liberal Pelaku Utamanya
Barat melalui para anteknya,
kaum liberal, memang tak pernah berhenti memusuhi Islam. Karena itu mereka
terus mencari cara agar bisa melemahkan keimanan kaum muslimin. Salah satunya
adalah dengan mengusung slogan Islam Rahmatan lil Alamiin. Ini terlihat jelas
dari penyataan Menag pada saat menawarkan gagasan Islam Nusantara dalam sebuah
sebuah
seminar dengan tema "Pluralims,
Fundamentalism, and Media" pada Frankfurt Book Fair di Frankfurt,
Jerman, Sabtu (10/10/2015) lalu. Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan perlunya
mengembangkan "Islam Nusantara" sebagai model keberagaman yang tengah
dikembangkan di Indonesia, terkait wacana perdebatan dan pencarian pemahaman,
serta menyikapi fenomena perkembangan gerakan radikalisme keagamaan dan
kemunculan “Islamophobia”. Dalam seminar itu Menag juga menawarkan kepada dunia
bahwa sesungguhnya Islam Nusantara bisa dijadikan sebagai model ber-Islam
“rahmatan lil ‘alamin”.[2]
Sebelumnya, ditahun 2011, Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda
Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) M Hanif Dhakiri menyatakan bahwa Islam
menjadi tampak keras ketika ia ditafsirkan dengan pendekatan kepentingan
politik dan kekuasaan. Pada dasarnya Islam adalah dien wal ummah, religion and
nation (agama dan bangsa). Bukan dien wal daulah, religion and state (agama dan
negara). Dengan begitu, politik
Islam semestinya tidak berkepentingan dengan negara Islam, melainkan kebaikan
masyarakat secara keseluruhan (rahmatan lil 'alamin). "Jadi,
Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil 'alamin. Itu pasti moderat,
toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam. Yang mengusung panji-panji
Islam tetapi tidak rahmatan lil 'alamin saya kira bukan Islam Indonesia. Itu
Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang
majemuk," jelas Hanif. [3]
Tentu orang-orang liberal ini mendasarkan
pendapatnya pada penafsiran dari ulama terdahulu yang mereka dekatkan dengan
konsep pemikiran Barat. Ini terlihat dari hujjah mereka sebagaimana disampaikan
oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin dalam peringatan Nuzulul Qur’an tingkat
Kenegaraan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/07/2014). “Al-Qur’an membawa misi rahmatan lil ‘alamin, kesejahteraan bagi alam
semesta,” Menurutnya, syari’ah yang bersumber dari Qur’an telah memberikan
andil besar pada perkembangan peradaban, dengan sumbangan konsepsi pemikiran
visioner yang dikenal dengan lima prinsip dasar kemanusiaan universal atau yang
disebut al-kulliyatul khams. Mengutip Abu Ishaq Asy-Syatibi (ulama terkemuka
abad ke-14), dikatakan bahwa tujuan ditetapkannya syariat atau
maqashidus-syari’ah meliputi: perlindungan terhadap kebebasan
berkeyakinan/beragama (hifzh al-din), perlindungan terhadap keselamatan jiwa
(hifzh al-nafs), perlindungan terhadap kebebasan berpikir (hifzh al-‘aql),
perlindungan terhadap keturunan/keluarga (hifzh nasl), dan perlindungan
terhadap hak milik harta benda (hifzh al-mall).“Jadi, syariat Islam yang
bersumberkan Al-Quran merupakan sumber hukum yang memiliki tujuan yang sejalan
dengan prinsip-prinsip HAM universal,”
tegas Menag.[4]
Jadi jelaslah pendapat imam Asy Syatibi
tentang maqashid syariah inilah yang mereka jadikan landasan untuk membenarkan
pendapat dan pandangan mereka.
Konsep Maqashid Asy
Syar’iah Asy Syatibi
Konsep maqâshid asy-syarî‘ah berasal dari seorang ahli ushul
fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Asy-Syatibi (w. 790
H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwâfaqât fî Ushûl
al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-maqâshid. Menurut
Asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan
hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan
inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan-tujuan
syariat). Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan
(jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat
(motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba[5]
Selanjutnya
Asy-Syatibi membagi maqâshid menjadi tiga bagian, yaitu: dharûriyât, hâjiyat,
dan tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika
tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya
sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah
(keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsînât artinya sesuatu yang
diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak
yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharûriyât beliau jelaskan
lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn); (2)
menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga
keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mâl) (Asy-Syatibi,
Al-Muwâfaqât, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi tentang maqâshid
asy-syarî‘ah.[6]
Dalam
perkembangan kontemporer, konsep maqâshid asy-syarî‘ah ternyata banyak dibelokkan
untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, bukan untuk menerapkan syariat
seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh, tujuan menjaga agama (hifzh
ad-dîn) ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam
Liberal) sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama (the protection of
the freedom of religion)”; tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql)
diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir (the
protection of the freedom of thought)”.[7] Jadi,
konsep maqâshid asy-syarî‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk
menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.
Memposisikan Maqashid
Asy Syar’iah
Pandangan Taqiyuddin An-Nabhani
tentang maqâshid asy-syar‘îah dalam kitab ushul fikihnya, Asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, pada bab, “Maqâshid asy-Syar‘îah”
secara umum berbeda dengan Asy-Syatibi. Sebab menurut An-Nabhani, maslahat adalah
akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan illat penetapan syariat. Dalam
kitab ushul fikihnya ini, An-Nabhani menolak dan mengkritik pandangan
Asy-Syatibi secara mendasar. Kendati pun kemudian terkesan lebih ketat, konsep
An-Nabhani tersebut menunjukkan keunggulannya. Sebab, di samping kekuatan
hujahnya, konsepnya juga dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep
maqâshid asy-syar‘îah secara gegabah untuk membenarkan ide-ide Barat yang
kufur.[8]
Kritik An-Nabhani terhadap pendapat imam Asy Syatibi ini mencakup 4
(empat) prinsip penting : (1) kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan
syariat; (2) maqâshid asy-syar‘îah adalah tujuan dari syariat sebagai
keseluruhan; (3) hikmah penerapan syariat tidak selalu terwujud; (4) hikmah
penerapan syariat hanya bisa diketahui melalui dalil syariat.
Prinsip
pertama konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa
maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan ‘illat penetapan
syariat. Jadi, pada dasarnya An-Nabhani mengakui adanya hubungan maslahat
dengan syariat. Hal ini beliau pahami dari nash-nash al-Quran yang menyatakan
bahwa diutusnya Nabi saw. adalah untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya
dalam QS Al-Isra (17) ayat 82 dan QS al-Anbiya’ (21) ayat 107. Namun demikian,
An-Nabhani dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu
bukanlah ‘illat atau motif (al-bâ‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah,
hasil (nâtijah), tujuan (ghâyah), atau akibat (‘âqibah) dari penerapan syariat.
Mengapa demikian?
Karena menurut An-Nabhani, nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi
bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun
hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan
syariat. Misalnya firman Allah Swt. berikut:
Tidaklah
Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Menurut
An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lîl (bentuk kata yang
menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lîl. Jadi, maksud ayat ini,
bahwa hasil (an-nâtijah) diutusnya Muhammad saw. adalah akan menjadi rahmat
bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil
pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat. Pandangan An-Nabhani
ini berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang meletakkan posisi maslahat
sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam
Prinsip
kedua konsep An-Nabhani dalam maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa maqâshid
asy-syarî‘ah (yaitu mewujudkan kemaslahatan) merupakan tujuan dari syariat
secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat sebagai satu persatu hukum
(li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata lain, terwujudnya kemaslahatan
merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan
dari masing-masing hukum.
Konsep
An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ (21)
ayat 107 di atas, yang menurutnya dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat
(maslahat) yang dihasilkan adalah dari keseluruhan risalah. Tidak ada dalâlah
(petunjuk) apa pun dari ayat tersebut atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’
[17]: 82) bahwa maslahat merupakan tujuan masing-masing hokum.
Karena
itu, An-Nabhani mengatakan, akan kita dapati ketika Asy-Syâri‘ (Allah)
menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah dari syariah sebagai keseluruhan, Dia juga
menerangkan tujuan dari masing-masing hukum pada banyak hukum, yang bersifat
khusus, yang hanya bisa diketahui melalui dalil topik yang bersangkutan.
Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar manusia menyaksikan
manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22]: 28); tujuan pengharaman khamr dan
judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS
al-Maidah [5] : 91); tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan
keji dan mungkar (QS al-Ankabut [29]: 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah
bahwa dihasilkannya rahmat (maslahat) hanya dihasilkan dari syariat secara
keseluruhan, bukan syariat sebagai satu demi satu hukum. Dengan kata lain,
tidak tepat dikatakan bahwa tujuan setiap nash syariat adalah mencapai
kemaslahatan, karena kadang nash-nash syariat menjelaskan tujuan (hikmah)-nya
secara khusus, seperti telah dicontohkan. Jika kita mengatakan bahwa tujuan
setiap hukum (satu-persatu) adalah untuk memperoleh maslahat, maka ini hanya
ditunjukkan oleh dalil aqli, bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara
tentang hukum syariat haruslah didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil aqli.
Prinsip
ketiga An-Nabhani dalam konsep maqâshid asy-syarî‘ah adalah bahwa hikmah
(akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak terwujud. Jadi,
ketika Allah menerangkan bahwa tujuan pensyariatan suatu hukum adalah begini,
maksudnya Allah memberitahukan bahwa hikmahnya begini. Tidak berarti Allah
mengatakan tujuannya pasti terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat
adalah hikmah ibadah haji (QS al-Hajj [22]: 28). Namun kenyataannya, jutaan
orang berhaji tidak menyaksikan manfaat bagi mereka. Mengenai khamr dan judi,
Allah menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di antara
manusia (QS Al-Maidah [5]: 91). Namun faktanya, banyak penenggak khamr dan para
penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan kebencian di antara mereka.
Prinsip
ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini tidak boleh dijadikan
sebagai ‘illat. Kalau dijadikan ‘illat, maka kewajiban haji akan bergantung
pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji
hukumnya wajib, dan jika tak ada manfaatnya, haji menjadi tidak wajib.
Keharaman khamr dan judi juga akan bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan
kebencian di antara pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamr dan judi haram,
jika harmonis dan rukun-rukun saja maka khamr dan judi menjadi mubah. Tentu ini
tidak benar.
Atas dasar
itu, prinsip ketiga ini semakin menegaskan, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan
syariat) sesungguhnya bukanlah ‘illat atau motif pensyariatan hukum, melainkan
hikmah atau hasil (natijah) dari penerapan hukum.
Prinsip
keempat konsep maqâshid asy-syarî‘ah An-Nabhani adalah bahwa hikmah dari
penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat, bukan berdasarkan
akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah sehingga hanya Allah saja
yang mengetahui tujuan pensyariatannya. Tidaklah mungkin bagi kita, baik secara
akli maupun syar‘î, dapat mengetahui hikmah (tujuan) suatu hukum, kecuali jika
kita mengetahuinya melalui nash, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Jadi,
tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk membentuk ketakwaan,
sebab ini ditunjukkan oleh nash (QS al-Baqarah [2]: 183). Namun tidak tepat
jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita bisa turut menghayati kehidupan
kaum miskin yang sering kelaparan, karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada
nash yang menunjukkannya.
Khilafah Penjaga Sejati
Maqashid Syar’i
Apa
implikasi dari prinsip-prinsip maqâshid asy-syarî‘ah menurut Taqiyuddin
An-Nabhani di atas? Di antaranya adalah tidak menjadikan maslahat sebagai dalil
hukum syariat. Jadi, tidaklah benar apa yang dikatakan sebagai kaidah fikih: Aynama takûnu al-maslahah fa tsamma
syar‘ullâh (Dimana ada maslahat, disana ada hukum Allah) (Al-Khayyath,
1982). Kaidah itu, di samping sangat lemah dalilnya, juga berbahaya ketika
diterapkan pada masyarakat kapitalistik saat ini yang didominasi paham
utilitarianisme atau pragmatisme, yang menjadikan manfaat sebagai standar untuk
mengukur salah benarnya perbuatan Bisa saja kemudian bunga bank yang sebenarnya
termasuk riba yang haram, lalu dianggap mubah hanya karena maslahat
Implikasi
penting lainnya, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah haruslah secara disiplin diketahui
berdasarkan nash, bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal.
Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘menjaga agama’ maksudnya adalah ‘menjaga
kebebasan beragama’, atau ‘menjaga akal’ artinya ‘menjaga kebebasan berpikir’,
jelas ini kesimpulan akal-akalan; tidak ada nilainya dalam pandangan syariat.
Di samping itu, pemaknaan tersebut sebenarnya adalah penafsiran sesuka hati
tanpa landasan dan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Itu hanya
fantasi intelektual murahan, yang dilakukan oleh orang yang tidak malu untuk
melakukan kedustaan dan manipulasi kebenaran
Dari sini jelaslah bahwa maqashid syariyah yang digagas Asy
Syatibi hanyalah instrument untuk menyusupkan ide kebebasan ala Barat. Dan
slogan Islam rahmatan lil alamiin yang diusung oleh antek-antek Barat harus
sepenuhnya diwaspadai. Islam rahmatan
lil ‘alamin bukanlah
Islam yang mereduksi syariah Islam hanya aspek individual. Bukan pula Islam
yang memilih tunduk kepada Barat dengan mereduksi jihad dalam pengertian qital
(perang) menjadi hanya perang melawan hawa nafsu. Sebab jihad dalam pengertian
qital (perang) adalah kewajiban syariah. Bukan pula Islam yang
diam saja ketika Barat menjajah kaum muslim dengan Ideologi Kapitalismenya. Sebab,
syariah Islam mewajibkan umat Islam untuk menerapkan hanya syariah Islam dan
bukan ideologi musuh-musuh Islam. Singkatnya, Islam rahmatan lil alamin akan terwujud dengan penerapan syariah
Islam oleh Daulah Khilafah Islam
Adalah keliru memahami Islam rahmatan lil alamin bisa
terwujud tanpa Khilafah. Sama kelirunya, menganggap penerapan syariah Islam
oleh negara secara formal sebagai ancaman. Justru tanpa negara bagaimana
mungkin syariah Islam secara menyeluruh (bukan hanya aspek ritual, moral, dan
individual) bisa terwujud? Wallahu a’lam
[1] Labib, S.
Rokhmat, Al Waie, Jurnal Politik dan Dakwah edisi Maret 2016.
[2] http://www.suara-islam.com/read/index/15826/-Bersama-Tokoh-Liberal--Menag-Tawarkan-Islam-Nusantara-sebagai-Islam-Rahmatan-lil-Alamin-di-Frankfurt
[3]
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/08/19/lq5w9t-ciriciri-islam-indonesia-islam-yang-rahmatan-lil-alamin
[4]
http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=202825
0 Response to "Islam Rahmatan Lil Alamin Hanya Terwujud Dengan Khilafah"
Posting Komentar