![]() |
| Abu Nur Muhammad Ridwan |
Islam mengatur
keluarga dengan segala perlindungan dan pertanggungan syariatnnya. Islam juga
mengatur hubungan lain jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi,
pertemuan dua tubuh, dua jiwa, dua hati, dan dua ruh., yakni ikatan sebuah
perjanjian perkawinan untuk menjalin kehidupan bersama untuk menggapai sebuah
bahtera rumah tangga yang didambakan setiap manusia.
Islam mengatur
hubungan ini dengan segala perlindungan yang menjamin ketentraman dan
kontinuitas tersebut sehingga mencapai tingkatan taat yang tinggi. Islam juga
mengatur hubungan antara suami istri dengan syariat dan menegakanperaturan
rumah tangga atas kepemimpinan salah satunya, yakni suami. peraturan inilah
yang memelihara dan membimbing batera rumah tangga dengan kasih sayang dan
taqwa kepada Allah.
Akan tetapi,
realita kehidupan manusia membuktikan banyak hal yang menjadikan rumah tangga
hancur sekalipun banyak pengarahan dan bimbingan, yakni kepada kondisi yang
harus dihadapi secara praktis. suatu kenyataan yang harus diakui dan tidak dapat
diingkari ketika terjadi kehancuran rumah tangga dan mempertahankannya pun
sebuah perbuatan sia-sia dan tidak mendasar.
Perceraian telah
ada pada masa sebelum Islam masuk, tetapi bentuk dan caranya tidak manusiawi.
Dalam makalah ini penulis akan menbahas tentang “zihar”, yang mana pada masa
zahiliyah zihar dianggap sebagai talak, lalu dihapus dengan kedatangan Islam.
Karenanya, hukum yang telah dihapus tidak boleh dilaksanakan lagi . Zihar juga
merupakan sebuah perlakuan buruk yang dicerminkan masyarakat zahiliyah kepada
seorang wanita
Zihar berasal
dari kata azh-Zahr, artinya tulang belakang. maksudnya, ucapan suami kepada
istrinya, “bagiku, engkau seperti punggung ibuku” . Seorang Arab, pada masa
kegelapan Jahiliyah mungkin akan mengatakan”Anti ‘alayya ka zhahri ummi”, hal
ini disebut zihar. setelah kata-kata ini diucapkan, dengan seketika juga
hubungan suami istri itu berakhir seperti halnya perceraian .
Dalam Fath
al-Bari dinyatakan bahwa punggung disebut secara khusus dalam ungkapan ini,
bukan anggota tubuh yang lain, karena pada umumnya punggung merupakan tempat
tunggangan. oleh sebab itu, tempat tunggangan biasa disebut sebagai tulang
belakang. kemudian perempuan diumpamakan dengan tulang belakang karena
perempuan menjadi tunggangan bagi laki-laki .
Zihar berlaku untuk setiap istri,
baik yang telah disetubuhi maupun yang belum, bagaimanapun keadaan istri
tersebut asalkan ia dapat dijatuhi talaq.[4]
Zihar Dalam
Muqaronah Madzahib
Ulama madzhab Hanafi
mendefinisikan zihar dengan ungkapan seorang suami kepada istrinya yang
menyerupakan istrinya dengan wanita yang haram dinikahinya untuk selamanya,
seperti ungkapan : “bagi saya kamu sama de ngan punggung ibuku atau saudara
perempuanku.” Dari definisi ini Ulama madzhab Hanafi mengatakan, jika yang
disamakan itu adalah anggota tubuh orang yang haram dinikahi untuk sementara
waktu (bukan ntuk selamanya), seperti saudara perempuan istri atau bibinya,
maka hal itu tidak termasuk zihar, karena bibi atau saudara perempuan boleh
dinikahi apabila istri tersebut sudah meninggal atau dicerai.
Ulama Malikiyah
mendefinisikan zihar dengan ungkapan seorang lelaki muslim (mukallaf) yang
menyerupakan istrinya dengan wanita yang haram dinikahi, baik yang bersifat
haram permanen atau sementara. Menyamakan istri dengan ibu, tanpa menyebutkan
bagian anggota tubuh tertentu termasuk zihar bagi mereka, contoh: “Kamu ini
seperti ibuku.” Demikian juga apabila yang disamakan itu bagian anggota tubuh
orang yang haram dinikahi dengan anggota tubuh istri, seperti ungkapan :
“Tangan, punggung, paha, dan kakimu.”
Definisi ulama
Madzhab Syafi’iyah dan ulama Hanabillah sama dengan pernyataan yang dikemukakan
madzhab Hanafi, yaitu menyamakan istri dengan wanita yang haram dinikahi untuk
selamanya, baik dari jalur nasab, seperti ibu dan saudara perempuan
sepersusuan.[5]
Rukun dan Syarat Zihar
Rukun zihar menurut ulama
Hanafiyah ada satu, yaitu lafal yang menunjukkan zihar, seperti ungkapan: “Bagi
saya kamu seperti punggung ibuku”. Adapun ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabillah menyatakan bahwa rukun zihar ada empat. Diantaranya:
a. Orang yang men-zihar, yaitu suami
muslim, baligh dan berakal (menurut Hanafiyah dan Malikiyah). Menurut mereka
zihar kafir zimmi tidak berlaku. Sedang menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, orang
yang men-zihar adalah orang yang sah talaqnya, baik muslim maupun kafir,
merdeka maupun hambasahaya.
b. Istri yang di-zihar, Ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa yang di-zihar adalah istri yang sah, dan istri itu masih
berstatus istri secara hukum. Seperti istri yang sedang dalam masa iddah dalam
talaq raj’i.
c. Orang yang diserupakan, adalah ibu atau
wanita- wanita yang haram dinikahi selamanya karena nasab, susuan, atau
hubungan semenda.
d. Sighat, ungkapan/ pernyataan zihar
Ulama fiqh
berbeda pendapat dalam menetapkan hukum sighat zihar yang secara terus terang
dan yang secara sindiran. Menurut ulama Hanafiyah, lafal zihar yang bersifat
jelas dan terang tidak diragukan lagi keabsahannya dalm men-zihar istri.
Menurut mereka jika lafal yang dipergunakan adalah lafal sindiran, seperti
lafal “Kamu sepeti ibu saya”, hukumnya tergantung pada niat suami. Jika niatan
untuk men-zihar istrinya maka jatuhlah hukum zihar, tetapi jika niatnya sebagai
pujian dan kehormatan, maka tidak termasuk zihar.
Menurut ulama
Malikiyah, lafal yang jelas dalam zihar harus mengandung dua unsur, yaitu lafal
yang digunakan adalah lafal az-zahr (punggung) dan wanita yang disamakan itu
orang yang haram dikawini selamanya. Adapun lafal sindiran yang tidak
mengandung salah satu unsur dari keduanya seperti yang disamakan adalah tangan,
kaki, atau kepala ibu atau missal dengan ungkapan “kamu seperti ibuku” dengan
menghilangkan kata punggung maka yang demikian hukumnya meenjadi tergantung
niat suami.
Ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa lafal yang jelas adalah jika lafal yang dipergunakan itu
tidak menunjukkan pujian atau penghormatan, sedang lafal sindiran lafal yang
mengandung kemungkinan penghormatan suami.Oleh itu mereka menghukumi lafal
sindiran juga tergantung niat suami.
Sedangkan
menurut ulama Hanabilah, lafal yang jelas adalah lafal yang menggunakan kata
az-zahr (punggung) atau al-hurmah (haram), seperti perkataan suami “punggungmu
seperti punggung ibuku” atau “kamu haram bagi saya”. Adapun lafal sindiran
adalah lafal yang mengacu kepada penghormatan atau pujian. Oleh sebab itu,
untuk lafal sindiran tergantung kepada niat suami.
Zihar yang
memenuhi rukun dan syarat seperti disebutkan di atas, mempunyai akibat hukum
sebagai berikut:
1. Suami tidak boleh menggauli istrinya
sebelum membayar kafarat, bahkan menurut jumhur ulama (selain madzhab Syafi’i)
termasuk diharamkan mencium, merayu, dan memandang istrinya dengan nafsu. Hal
ini didasarkan pada sabda Rasulullah yang menyatakan : “Jangan engkau dekati
dia (istri) sebelum engkau lakukan apa diperintahkan Allah (bayar kafarat)”.
(HR. Ahmad Bin Hanba, Abu Daud, at-tirmidzi, dan Ibn Majah dari Ibn Abbas).
Akan tetapi menurut Syafi’iyah yang dilarang hanyalah hubungan seksual saja.
2. Istri berhak menuntut untuk digauli dan
berhak juga menolak untuk digauli suaminya sampai kafarat dibayar suaminya. Di
samping itu, hakim berhak memaksa suami untuk membayar kafaratnya atau
menceraikan istrinyayang ia zihar, sedangkan kafarat ziharnya belum dibayarnya,
kemudian ia ingin merujuk istrinya, ia wajib membayar kafarat zihar sebelum menggauli. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’I,
Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Rusyd dari Madzhab Maliki.
• Kafarat Zihar
Dalam QS
Al-Mujadillah ayat 3-4 dijelaskan bahwa kafarat zihar adalah memerdekakan
seorang budak, jika tidak mampu maka puasa dua bulan berturut- turut, dan
apabila tidak mampu juga maka memberi makan sebanyak 60 orang miskin.
Hal ini juga
didasarkan atas Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud. “Kafarat
ini diwajibkan atas suami sebelum ia kembali kepada istrinya”. Akan tetapi,
dalam menafsirkan kata “kembali” terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengartikan sebagai “keinginan untuk melakukan
hubungan suami istri (jimak)”. Ulama Hanabilah mengartikan “melakukan jimak”.
Sementara Ulama Syafi’iyah mengartikan “menahan istrinya beberapa waktu yang
memungkinkan suami mentalak istrinya.
Kafarat zihar
tersebut harus dilaksanakan secara berurutan. Artinya, kafarat pertama yang
harus diusahakan suami adalah memerdekakan budak. Jika ia tidak mampu, baru
berpuasa dua bulan berturut- turut. Apabila suami juga tidak sanggup berpuasa
dua bulan berturut- turut, barulah boleh member makanan 60 orang miskin (sekali
makan).
Apabila suami
melakukan hubungan seksual dengan istrinya sebelum membayar kafarat, maka ia
berdosa karena melakukan hubungan seksual disaat istrinya tersebut masih haram
digaulinya. Oleh sebab itu, kafarat tetap menjadi hutang baginya.
Terdapat
perbedaan pendapat ulama, apabila suami tersebut melakukan seksual dengan istri
yang di-ziharnya di saat ia belum lunas membayar kafarat. Misalnya kafarat yang
ia bayar adalah puasa dua bulan, namun sebelum habis utang puasanya, ia
menggauli istrinya atau ia menggauli istrinya disaat ia belum lunas member
makan 60 orang miskin. Menurut ulama Madzhab Maliki, dalam kasus seperti ini
suami tersebut berdosa dan ia wajib membayar kafaratnya dari awal.
Menurut ulama
Syafi’i perbuatan menggauli istrinya tersebut berdosa akan tetapi tidak
menggugurkan puasa atau member makan
yang telah dibayarkan sebelum melakukan jimak. Ulama madzhab Hanafi dan Hanbali
berpendapat bahwa jika kafarat yang dibayar adalah puasa, lalu ia gauli
istrinya sebelum lunas puasanya maka ia wajib mengulang puasanya dari awal.
Apabila kafarat yang dibayarkan adalah member makan 60 orang misskin, lalu ia
gauli istrinya sebelum kafaratnya tersebut selesai secara sempurna maka ia
tidak wajib baginya mengulang member makan dari awal.
Artinya, jmak
dalam masa pembayaran kafarat dengan member makan 60 orang miskin tidak merusak
kafarat tersebut, karena ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pemberian makan
60 orang miskin itu tidak mengaitkannya dengan kalimat “sebelum digauli”. Lain
halnya untuk memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut- turut, dalam
ayat dikaitkan dalam ayat dikaitkan dengan kalimat “sebelum digauli”.
Apabila sesorang
suami berkata pada istrinya : “kamu seperti punggung ibuku” hal ini dihukumi
zihar padanya. Karena menyamakan punggung yang halal dinikahi dengan punggung
orang yang haram dinikahi.
Apabila seorang
suami men-zihar istrinya, maka ia tidak boleh menggauli istrinya tersebut
sebelum membayar kafarat (denda) zihar. Ayat diatas menunjukkan bahwa zihar
yang sah itu hanyalah dari pihak suami, bukan dari pihak istri. Menurut ulama
fiqh selain Imam Ahmad bin Hanbal, hukum zihar yang ditunjukkan ayat tersebut
hanya untuk suami. Jika istri men-zihar suaminya, maka hukun zihar itu dianggap
sama sekali tidak ada.
Kafarat zihar
berupa memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu maka puasa dua bulan
berturut- turut, dan apabila tidak mampu juga maka memberi makan sebanyak 60
orang miskin.
Menurut ulama
Hanafiyah rukun syarat zihar hanya satu, yaitu lafal yang menunjukkan zihar,
Adapun ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah menyatakan bahwa rukun zihar
ada empat. Diantaranya:
a. Suami yang men-zihar, tentunya muslim,
baligh dan berakal
b. Istri yang di-zihar
c. Orang yang diserupakan,
d. Sighat, ungkapan/ pernyataan zihar
Adapun dari
paparan makalah dapat diambil kesimpulan bahwasanya sebagai manusia biasa
sekiranya harus selalu berhati- hati dalam ucapan maupun perbuatan, karena
setiap tindakan manusia tidak terlepas dari hukum. Para kaum lelaki yang
diberikan kemudahan pengabulan akad, talaq, dan juga zihar sekiranya harus
benar- benar berhati- hati dalam menjaga lisan, terlebih ketika sedang marah
dengan istrinya.






0 Response to "Pandangan UlamaTantang Hukum Zihar "
Posting Komentar